Pungli Obyek Wisata: Nurut Berujung Bangkrut

by - Rabu, Oktober 29, 2014


Tulisan ini sebagai bentuk kekecewaan saya setelah berjalan-jalan ke Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Bandung yang berlokasi di Dago Pakar beberapa waktu lalu. Dari judulnya pasti sudah bisa menebak penyebab sekaligus lakon utama dalam cerita ini, tepat: pungli – pungutan liar, calo, well, bukan hal baru di Indonesia tapi tetap selalu hot dan senantiasa menyebalkan jika dibicarakan, beberapa orang maklum dan ok-ok saja – sebenarnya karena malas untuk berdebat “Orang kayak gitu mah turutin aja daripada berantem.” Tapi sampai kapan pemerasan terselubung ini harus terjadi, hix.



Tentunya di awal kalimat saya ucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh media online juga blog (dan para blogger) tentunya, karena mereka sekarang informasi tentang berbagai obyek wisata bisa dengan mudah didapat, akses, fasilitas, dan segala berita terkait ditulis dengan lengkap bahkan saking detailnya membuat semua yang baca jadi makin mupeng dan merasa berkewajiban untuk segera mengunjunginya yang sayangnya perasaan itu harus dibalas dengan sebuah gerutuan ketika…

Oh, tarif masuknya sudah naik dari harga yang tertulis di blog.


Tiket masuk Taman Hutan Raya (Tahura) – Dago Pakar Bandung seharga Rp 11.000 per orang (berbeda dengan update-an di blog yang katanya masih Rp 8.000), dan biaya masuk motor saya seharga Rp 5.000, karena saya pelit, tarif motor segitu berarti harus berada minimal 3 jam donk di Tahura, hahaha.

Saya kesana bukan di akhir pekan jadi loket-loket informasinya pada tutup (baca: malas jaga), suasananya sepi dan agak mencekam. Yang bikin mencekam karena yang jaga di sekitar pintu masuk adalah orang-orang dengan mimik wajah yang tidak ramah, seketika saya masuk, tiket saya diminta – tidak dirobek, hanya diminta dan tidak dikembalikan. OMG! Saya blogger gitu loh, saya bahkan belum sempat memotret itu tiketnya. Dan tanpa kata-kata sambutan “Selamat datang” atau apa, si penjaga membiarkan kami masuk dan berlalu cuek begitu saja. Seriously?


Saya terakhir ke Tahura tahun 2005 karena ada tugas kuliah kudu ke Goa Jepang. Dan kemarinan, suer deh, rencananya saya tidak bermaksud ke Goa Jepang lagi, yah mungkin cuma sedikit nostalgia di depan Goanya, tapi serius ngga ada rencana masuk.

Disini nih kekecewaan bermula, juga diakibatkan kepolosan dan ketololan saya yang malu bertanya sesat di dompet. Ketika saya berjalan menghampiri Goa Jepang yang notabene tempat persembunyian tentara Jepang pada jaman dahulu kala, saya langsung ditawari senter oleh salah satu penduduk lokal di sana dan tanpa meminta persetujuan saya mengajak masuk ke Goa dan mulai bercerita panjang lebar tentang Goa ini, proses pembuatan dan lain sebagainya. Ok, thanks for your explanation. Namun, tidak berakhir begitu saja, ketika kami keluar dari Goa berpanjang total 450 m, kami langsung dipaksa membayar tarif yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya.


“Jadi ya neng, biaya senter ini satunya Rp 5.000 dan jasa mamang sudah cerita Rp 30.000,” Lho? Saya kira minjemin senter tadi adalah secercah kebaikan manusia, ternyata dikomersilkan juga! Ini bagaikan kita jalan-jalan ke Tegalega Bandung dan membaca iklan jualan yang tertulis sedemikian rupa untuk mengecoh pembelinya mengira harga mangga 1 kg Rp. 5.000 tapi nyatanya pas didekati eh harga sebenarnya ½ kg mangga Rp 5.000. Mantap!

“Lho, kan tadi bapak tidak ada bilang bayar,” Saya mencoba protes. Kan saya pelit dan saya ngga suka ditipu kayak begini, mentang-mentang wajah saya memang gampang dibohongi bak perempuan lugu dari desa.

“Iya, neng, karena tadi bapak tidak bilang jadi bayar boleh seikhlasnya saja,” Capek deh… Kalau saja kala itu saya sedang tidak dengan si abang yang baik hati dan berbudi luhur saya sudah duluan bilang, “Ngga mau bayar, ngga ikhlas.”


Saya sih tidak pernah menghambat orang untuk mencari rezeki. Well, informasi mengenai Goa Jepang itu cukup menarik sih menurut saya, dia juga menceritakan dengan cukup detail dan bisa menjawab pertanyaan dengan baik (kayak ujian aja). Namun, kalau bisnisnya seperti ini kan merugikan banyak orang, apalagi saya yang niatnya hanya ingin jalan-jalan dengan modal pas-pasan (yang penting bisa motret). Kalau memang mau jadi pemandu ya silahkan mengajukan penawaran dimuka jadi saya bisa itung-itungan dulu dengan kondisi anggaran belanja bulanan.


Saya mencoba berpikiran dua arah, mungkin belakangan sudah banyak orang yang tau sejarah Goa Jepang sehingga malas untuk menyewa pemandu, tapi bukan gini kan caranya? Lagian kalau saya diberi tau harganya dari awal, saya juga pasti ikhlas bayarnya. Kalau dipaksa begini bisa-bisa saya bayarnya sambil sumpah serapah dan malahan ngga jadi rejeki bagi si penerima, si mamang pungli dalam hal ini.


Sebelum kami berpisah, si mamang pungli akhirnya memberanikan diri untuk kali ini menawarkan jasa di muka,

“Mau nyewa motor, neng? Siapa tau mau ke Curug Omas, lumayan lho 4km jalan kaki,” Baru-baru ini saya tau kalau ada jalan masuk lain di Tahura yang bisa dimasuki dengan motor, but ya sudahlah biarlah ini menjadi kisah klasik untuk masa depan.


“Kami bawa motor mang, memangnya tidak bisa masuk dengan motor pribadi,”

“Lho, kan motornya diparkir neng dan memang tidak boleh bawa kendaraan pribadi ke dalam, kalau mau, sewa motor mamang saja harganya Rp 100.000, bisa pakai sepuasnya,” HAH! Waktu saat itu menunjukkan pukul 3 sore dan Tahura biasanya hanya beroperasi hingga jam 5 sore, terus kita disuruh nyewa motor selama 2 jam dengan tarif cepek?

“Ngga mang, makasih,” Sayapun menepis dengan dingin.

Intinya saya belum jadi ke Curug Omas itu. Menyesal dan sekaligus sebal. Dan kekesalan itu makin menjadi-jadi ketika kami hendak pulang dari Tahura, kami masih harus membayar Rp 2.000 untuk biaya parkir.

“Lho, kan sudah termasuk tadi pas bayar di loket,” Jawab saya mulai emosi.

“Ngga neng, itukan biaya motornya masuk, biaya motornya parkir beda,” Dengan cuek pungli ini memaksa saya kembali mengeluarkan dompet.


Boro-boro deh mau lanjut ke Tebing Keraton, isi dompet saya sudah ada di ujung tebing...

You May Also Like

6 komentar

  1. Hadooh...banyak sekali biaya tak terduganya ya... :(

    BalasHapus
  2. Haduh haduh...

    Itu tarif masuk Tahura Rp 11.000 apa ada pemberitahuannya di loket tiket? Biasanya tarifnya juga tercetak di tiket toh? Yang dirimu lihat Rp 8.000 itu jangan2 sudah beberapa bulan yg lalu?

    Kalau saya sih dari kecil sudah diajarkan untuk tidak menerima pemberian orang yang tidak kita kenal. Ya, untuk menghindari hal-hal seperti yang mbak ceritakan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau untuk harga tiket masuknya saya bisa maklum kalau tiba-tiba naik, tapi ya untuk yang lainnya biar jadi pembelajaran aja biar tidak terkecoh ^^

      Hapus
  3. Fab photos moudy! And I really like your top, the colours are so pretty :) x
    | Life as a Petite || Fashion, Crafts & Lifestyle Blog |

    BalasHapus
  4. menurut ku sih memang harus di maklumi tapi kalau tidak wajar sebaik nya di laporkan saja kak moudy...

    BalasHapus

Selamat berkomentar, tinggalkan link pada username. Link yang berada di dalam kolom komentar akan dihapus. (Feel free to comment and put your link on your username ONLY instead comment box area, otherwise deleted).